Free Alien Dance Cursors at www.totallyfreecursors.com

Selasa, 27 Maret 2018

Kethek Ogleng

Kethek Ogleng, Kesenian Khas Kediri yang Hampir Punah

Sukses di Tiongkok karena Mirip Sun Go Kong

Selain jaranan, Kediri juga punya kesenian khas yang lain. Bahkan, tari yang dicuplik dari kisah asmara Panji Asmarabangun dan Dewi Kilisuci tersebut juga sudah mendunia. Tapi sekarang tari ini terancam punah.
Menurut Guntur, tari Kethek Ogleng sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tari ini mengalami masa puncak pada era 70-an. Tari Kethek Ogleng sangat familiar di masyarakat. Tak hanya tampil di acara-acara budaya atau resepsi resmi. Tapi banyak juga seniman yang mengamen berkeliling kampung, memeragakan tari tersebut.

Membawakan tari Kethek Ogleng tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Mulai dari kostum dan perangkat gamelan. Itulah yang menyebabkan tidak banyak orang yang bisa melakukannya. “Gerakan tarinya juga cukup rumit,” lanjut Guntur.

Seiring berjalannya waktu, tari Kthek Ogleng perlahan-lahan mulai jarang ditampilkan. Pada era 90-an kegemaran masyarakat dan seniman mulai bergeser. Mereka lebih suka memainkan jaranan yang gerakan dan musiknya lebih sederhana. Tak heran bila saat ini warga Kediri lebih mengenal jaranan sebagai seni khas Kediri dibandingkan Kethek Ogleng.

Apa yang membuat Kethek Ogleng menjadi kesenian khas Kediri? Guntur mengatakan sebenarnya tari tersebut berasal dari legenda Kota Kediri. Yaitu kisah percintaan Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji dalam Cerita Panji.

Kera atau kethek yang ditampilkan pada cerita tersebut adalah jelmaan dari Panji Asmorobangun. Dia berubah wujud menjadi seekor kera putih yang sedang mencari calon pendamping hidup.

Saat berkelana di hutan kera putih berjumpa dengan Endang Roro Setompe yang merupakan nama lain dari Dewi Sekartaji. Melihat sosok Dewi Sekartaji yang cantik jelita, Panji pun tergoda. Namun sayangnya Sekartaji tidak mau memiliki suami seeekor kera. “Akhirnya Sekartaji meninggalkan kera sendirian di tengah hutan,” cerita Guntur.

Celeng Srenggi

Celeng Srenggi

Ini merupakan tokoh yang biasanya ada di pertunjukan jaranan. Tokoh yang menari dengan membawa celengan.



Senin, 05 Maret 2018

Barongan

SEJARAH PRABU SINGO BARONG


Di dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa sang Prabu berputera seorang putri yang sangat cantik. Putri tersebut bernama Dyah Ayu Songgolangit. Kecantikan Putri Songgolangit tersohor di seantero jagad sehingga banyak raja dari luar daerah Kediri yang ingin mempersuntingnya. Putri Songgolangit mempunyai adik laki-laki yang berparas tampan dan terampil bernama Raden Tubagus Putut.Untuk menambah wawasannya Raden Tubagus Putut pamit pada ayahandanya (Prabu Amiseno ) untuk berkelana dan menyamar sebagai masyarakat biasa. Sang Raden pun kemudian mengabdi pada kerajaan Bantar Angin yang dipimpin oleh Prabu Kelono Sewandono dan diberi gelar nama Patih Pujonggo Anom.  Mendengar kecantikan Dyah Ayu SonggoLangit, Prabu Kelono Sewandono ingin meminangnya, maka diutuslah Patih Pujonggo Anom.Sebelum berangkat ke Kediri Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada Sang Dewata agar dirinya tidak diketahui oleh ayahnya maupun kakaknya. Dan akhirnya diapun berangkat menuju Kerajaan Ngurawan dengan menyamar memakai topeng dengan harapan tidak diketahui oleh ayah dan kakaknya disana. Kedatangan Pujonggo Anom untuk melamar membuat terkejut Songgolangit, karena meskipun Pujonggoanom memakai topeng, ia mengetahui bahwa itu adiknya sendiri.

Songgolangit menghadap ayahnya menyampaikan bahwa Pujonggo Anom itu adalah Raden Tubagus Putut adiknya sendiri. Mendengar penuturan itu maka murkalah sang ayah. Kemudian Prabu  Amiseno  mengutuk Pujonggo Anom bahwa topeng yang dikenakan pada wajahnya tidak bisa dilepas dari wajahnya. Pujonggo Anom pun mengatakan pada Songgolangit bahwa lamarannya itu sebetulnya untuk rajanya yaitu Prabu Kelono Sewandono. Akhirnya Songgolangit mengeluarkan suatu sayembara yang isinya: Dia menginginkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah; Barang siapa dapat membuat tontonan yang belum ada di jagad ini, dan bilamana tontonan ini digelar dapat meramaikan jagad dengan iringan tetabuhan maka si pencipta tontonan berhak memperistri dirinya.

Pujonggo Anom melaporkan permintaan Songgolangit kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena merasa cukup sulit, akhirnya keduanya bersemedi memohon petunjuk Sang Dewata Agung. Dewata memberikan bahan berupa batang bambu, lempengan besi serta sebuah cambuk. Batang bambu digunakan untuk membuat kuda kepang yang melambangkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah, lempengan besi dijadikan bahan tetabuhan.Akhirnya pasukan prajurit penunggang kuda dari Bantar Angin menuju Kerajaan Kediri dengan diiringi tetabuhan bisa menjadi tontonan yang belum pernah dilihat oleh masyarakat Kediri. Maka mulailah kesenian itu diberi nama Tari Jaran Kepang yang terdiri dari empat orang sebagai penari yang menggambarkan punggawa kerajaan yang sedang menunggang kuda dalam tugas mengawal raja.
Tarian tersebut diiringi oleh satu unit musik gamelan Jawa. Di lain pihak Prabu Singo Barong merasa terdahului oleh Prabu Kelono Sewandono, maka murkalah Singo Barong dan terjadilah perang. Prabu Kelono Sewandono dapat mengalahkan Singo Barong berkat pecutnya. Singo Barong pasrah kepada Kelono Sewandono dan menyanggupi syarat menjadi pelengkap dalam pertunjukkan jaranan yang digelar di Kerajaan Kediri. Dengan bergabungnya Singo Barong dan patihnya Singo Kumbang maka genaplah penari jaranan berjumlah enam orang hingga sekarang ini.

Kamis, 01 Maret 2018

Bujang Ganong (Ganongan)

Bujang Ganong (Ganongan)


Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang energik dalam Seni Reyog Ponorogo. Sosok yang kocak sekaligus mempunyai keahlian lebih dalam seni bela diri. Sehingga dalam setiap pertunjukan Reyog Ponorogo, penampilannya selalu ditungu-tungu oleh penonton khususnya di kalangan anak-anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang patih muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.

Dari salah satu versi cerita, Bujangganong adalah adik seperguruan dari Klonosewandono yang kemudian mereka berdua bertemu kembali dan bersatu, mendirikan kerajaan Bantarangin. Klonosewandono sebagai raja dan Bujangganong sebagai Patihnya. Dalam dramaturgi seni pertunjukkan reyog, Bujangganong lah yang dipercaya sebagai utusan dan duta Prabu Klonosewandono untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri.
Secara fisik Bujang Ganong digambarkan bertubuh kecil, pendek dan berwajah buruk, berhidung besar, mata bulat besar melotot, bergigi tonggos dan berambut panjang gimbal . Bujang Ganong dalam seni reyog obyog masa lalu tak banyak memainkan peran. Bujangganong hanya menjadi pelengkap dan sebagai sosok jenaka penghibur penonton, untuk mencairkan suasana. Bertingkah kocak sekehendak hati diikuti gamelan, menggoda barongan reyog, menggoda jathil dan juga berinteraksi menggoda penonton. Belum banyak tarian dan akrobatik-akrobatik Bujang Ganong yang ditampilkan waktu itu.

Baru kemudian mulai tahun 1980-an tarian Bujang Ganong dikembangkan dan ditambahkan akrobatik-akrobatik, hingga sampai ke panggung festival dan akhirnya kita mengenal tari Bujangganong seperti sekarang ini. Tokoh-tokoh penari Bujangganong waktu itu yang terkenal seperti : Pak Lekik, Pak Slamet dan Wisnu HP dari generasi mudanya.

Bujang Ganong, meskipun secara fisik cenderung buruk rupa, tapi mempunyai kualitas yang tinggi. Sakti dan mumpuni, loyalitas tanpa batas namun lembut dan jenaka, terampil, serba bisa dan cerdas. Seorang abdi dan perwira tinggi sekaligus pamong yang penuh dedikasi, rendah hati, jujur, tulus tanpa pamrih.

Dari versi cerita yang lain, Bujang Ganong dipercaya adalah karakter yang mewakili Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam­–salah satu tokoh sakti sekaligus cendikia Majapahit–yang menggunakan seni pertunjukkan reyog sebagai media kritik terhadap raja Majapahit waktu itu, Brawijaya V Bre Kertabumi. Gaya pemerintahan Bre Kertabumi yang seolah didikte oleh permaisurinya, digambarkan dengan seekor burung merak yang bertengger di kepala harimau. Ki Ageng Kutu dalam kritiknya–melalui seni pertunjukkan reyog–membangun karakter Bujangganong dengan segala sifat-sifat keperwiraan yang mengabdi demi tanah air. Melalui seni pertunjukkan Reyog dan tokoh Bujangganong dengan segala kualitas yang dimilikinya, Ki Ageng Kutu mencoba menyampaikan kebenaran dengan kesederhanaannya sekaligus teladan dengan gerak dan rasa yang konkrit.

Hingga kemudian, Bujang Ganong bukan hanya sekedar sebuah tontonan yang atraktif tapi keteladanannya mengandung tuntunan yang luhur, bahwa kualitas seseorang tidak bisa di ukur dari penampilan fisik semata. Kualitas karakter ini yang membuat Bujangganong memegang peranan penting dan menjadi tokoh sentral dalam dramaturgi seni pertunjukkan Reyog Ponorogo.

Bujang Ganong dengan segala peran dan kualitasnya menawarkan sebuah alternatif perenungan spiritual yang lembut namun dalam. Keteladanan yang pantas diapresiasi, dilestarikan dan di jiwai. Sebuah kearifan budaya lokal yang mencoba bertutur tentang filosofi dan makna kesejatian hidup. Bujang Ganong telah tampil ke depan melompat jauh ke masa depan melebihi jamannya. Ditengah hiruk pikuk cerita fiksi tokoh dan karakter kepahlawanan asing, Bujangganong mencoba menerobos ke pusat jantung modernitas yang cenderung absurd.

Sejarah Kesenian Jaranan Kediri

Sejarah Kesenian Jaranan Kediri






Kesenian jaranan/kuda lumping asal muasalnya diangkat dari dongeng masyarakat Kediri, tepatnya pada masa Kerajaan Ngurawan. Konon Sang Raja, Prabu Amiseto memiliki anak yang sangat cantik rupawan bernama Dyah Ayu Songgolangit (songgolangit, bhs jw=memikul langit) yang sangat terkenal seantero jagat , hingga banyak sekali raja-raja dari luar yang ingin mempersuntingnya.
Jaranan, merupakan salah satu tarian tradisional khas Kediri. Selain sebagai hiburan, seni jaranan juga dikenal sebagai alat pemersatu masyarakat di Kediri. Meski berupa tarian, Jaranan memiliki ciri tersendiri, baik dari tarian, pakaian yang dikenakan, serta irama yang mengiringinya. Kesenian Jaranan asli Kediri, biasa diiringi dengan berbagai alat musik, seperti gamelan, gong, kendang, kenong. Sedangkan, dilihat dari tariannya, ada 2 macam tarian yang digunakan, yaitu tarian pegon atau jawa, dan tarian senterewe yakni gabungan antara tarian jawa dengan tarian kreasi baru.